[VIgnette] An Old Building

A Fanfiction by otherwiseM

|| Jo Youngmin, No Minwoo, and Lee Jeongmin (Boyfriend) || Horror || Vignette (1000+ words) || PG-15 ||

Kalian tau tidak gedung tua yang pembangunannya dihentikan 3 tahun lalu di ujung terminal? Aku dengar, ada seorang gadis yang kepalanya dipenggal oleh kakeknya sendiri yang mengalami gangguan kejiwaan!


Jam menunjukkan pukul 8 malam. Aku menghela nafas berat saat menyadari waktu yang berlalu sangat cepat ini. Padahal tadi aku hanya menemani Jeongmin Hyung membuat instrument piano untuk tugas sekolahnya. Aku tak menyangka akan selama ini. Ditambas bis yang tak kunjung berhenti di halte, mau tidak mau, aku harus berjalan kaki sampai rumah.

Ada sedikit ketakutan yang terselip dalam hatiku saat mataku menangkap sebuah gedung yang  berdiri kokoh tanpa disinari cahaya lampu. Sangat gelap dan menyeramkan. Mengingat pembangunan gedung ini yang terhenti 3 tahun lalu karena sebuah masalah, dan tak kunjung dibangun kembali hingga sekarang. Padahal hanya tinggal membenarkan atap, gedung ini sudah dapat dipakai.

Tiba-tiba aku teringat perkataan Minwoo, sahabatku yang memiliki hobi menggosip seperti yeoja tentang gedung ini beberapa hari lalu.

“Kalian tau tidak gedung tua yang pembangunannya dihentikan 3 tahun lalu di ujung terminal? Aku dengar, ada seorang gadis yang kepalanya dipenggal oleh kakeknya sendiri yang mengalami gangguan kejiwaan! Kejadian ini terjadi 5 tahun lalu saat tempat tersebut digunakan sebagai rumah. Bahkan, seorang pekerja mengaku pernah melihat hantu tanpa kepala di halaman gedung saat ia akan pulang di malam hari. Benar-benar menyeramkan! Apalagi katanya, jika ada seseorang yang melewati gedung itu pada pukul 8 malam, ia akan bertemu dengan hantu tanpa kepala! Jika ia beruntung, hantu itu akan membiarkannya pergi. Tapi, jika hantu itu menyukainya, ia akan mengurung orang itu selamanya di gedung tersebut.”

 

Dengan cepat aku menggeleng dan sedikit berdesis. Mengapa aku tiba-tiba memikirkan omongan anehnya itu? Dia ‘kan dikenal dengan imajinasi luar biasa dalam mengkhayal sebuah cerita. Pasti ia hanya mencari sensasi.

Tiba-tiba, suara langkah kaki yang terkesan lambat dan berat mulai menyeruak ke dalam telingaku. Membuatku menghentikan langkah dan menelan ludah perlahan. Keringat dingin perlahan keluar dari pelipisku. Jantungku pun berirama tak seperti biasanya.

“Permisi ….” Sebuah suara dengan nada lemah khas pria tua terdengar olehku. Kali ini dari arah belakang. Dengan helaan nafas panjang sebelumnya, aku berbalik.

“I … iya?”

Aku hanya tercengang menatap penampilan ‘kuno’ kakek tua renta di depanku. Dengan jas serba hitam, topi bulat yang usang, tongkat kayu dan sepatu kulit berwarna senada, ia mulai mengangkat kantung keresek hitam yang berukuran lumayan besar di tangannya. “Bisa tolong aku?”

Aku hanya terdiam membisu. Beribu-ribu pertanyaan mulai bermunculan di benakku. Tanpa sadar aku meneguk kembali ludahku dan mengambil kantung keresek tersebut.

“Tolong simpan di depan pintu utama gedung itu,”-ia menunjuk gedung gelap di sampingku-“terima kasih.”

Aku terus menatap gedung gelap di hadapanku tanpa ada sepatah kata yang keluar. Aku seolah terhipnotis oleh kegelapan menyeruak di dalam sana. “Sama-sa–”

Aku menghentikan kalimatku saat mataku tak menangkap sosok tua tadi. Refleks aku memutar tubuhku. Berusaha menemukan sosok yang sudah hilang dari hadapanku. Namun nihil. Hanya kesepian yang kudapat.

Tanpa sadar aku menghela nafas panjang dan memikirkan sesuatu seperti, “Bagaimana jika aku pulang saja dan bersikap seolah tak pernah bertemu dengan Kakek itu dan menyimpan kantung ini di sini?” atau, “Bagaimana jika aku menurutinya saja? Lagipula aku hanya tinggal masuk ke dalam sana dan meletakkan ini di tempat yang ditunjuknya.”

Sepertinya aku lebih condong ke pemikiran pertama. Namun, entah mengapa tubuhku tergerak sendiri untuk menuruti pemikiran kedua. Untuk kali pertamanya, tubuhku bergerak tak sesuai dengan apa yang kuinginkan.

Aku semakin masuk ke dalam kegelapan yang membuat jantungku berdegup tak beraturan hingga rasanya ingin lepas dari tempatnya semula. Entah sudah berapa ratus kali aku menelan ludahku. Langkahku terhenti sesaat setelah aku sampai di depan pintu besar yang tampak tak terawat. Bisa dilihat dari debu-debu yang menempel begitu lekat.

Dengan tangan yang entah sejak kapan gemetar, aku meletakkan bungkusan tersebut dan melangkah mundur hingga untuk yang kedua kalinya langkahku terhenti.

Aku melihat gerakan kecil dari dalam kantung plastik tersebut. Membuat kebisingan kecil yang terdengar sangat jelas. Mungkin karena suasana yang teramat sepi. Untuk yang kedua kalinya juga, tubuhku bergerak tak seirama dengan keinginanku. Aku berjalan perlahan menghampirinya dan mengoyak kecil kantung tersebut hingga sebagian darinya terbuka. Aku yang entah sejak kapan menjadi orang sepenasaran ini pun perlahan membuka kantung tersebut.

Deg!!

Alangkah terkejutnya aku saat menemukan sepenggal kepala dengan rambut menjuntai panjang dan darah segar yang mengalir deras memenuhinya. Tubuhku seolah membatu. Perlahan aku mengambil langkah mundur hingga aku berbalik dan hal yang lebih mengerikan pun terjadi.

Seonggok tubuh tanpa kepala dengan tinggi sekitar 165 senti itu berdiri tegak di hadapanku dengan piyama lengkap yang tampak usung. Jari-jarinya yang sudah terpotong dan mengelupas tersebut terangkat tepat ke wajahku.

Aku hanya bisa terdiam membatu menatapnya. Tubuhku lemas. Kepalaku pusing. Hanya sebuah erangan meminta tolong yang kudengar sebelum semuanya gelap. Tanpa ada cahaya sedikit pun.

*****

“Tuan … tuan, sadarlah tuan! Tuan!”

Aku perlahan membuka mataku yang terasa berat saat suara lantang dan goncangan kecil terasa olehku. Aku menatap ke sekeliling. Mendapati pepohonan rindang dan sesosok pria paruh baya berkaus putih. Cepat-cepat aku terduduk dari posisiku semula.

“Apa anda baik-bak saja? Perlukah saya memanggil ambulan?” tanyanya dengan suara berat. Aku hanya tersenyum semanis mungkin menandakan bahwa aku tak apa-apa.

Kamsahamnida,” ujarku kikuk lantas membenarkan seragamku.

“Maaf, apa yang semalam kau lakukan di sini? Apa kau tidak tau bahwa tempat ini tidak boleh dimasuki? Dan bagaimana caranya kau masuk padahal gerbang sudah dikunci rapat-rapat? Apa kau anak dari pemilik gedung ini?”

Sontak aku menghentikan aktivitasku dan menatapnya intens. Tiba-tiba saja aku teringat akan hal menyeramkan semalam. “Aku … disuruh meletakkan sebuah bungkusan di depan pintu utama oleh seorang Kakek tua.”

Pria di hadapanku membulatkan matanya dengan tubuh bergetar. Bahunya naik-turun seiring dengan deruan nafas yang mencekat.

“Maaf.” Aku menautkan alisku bingung.

Ia menggeleng dan perlahan berjalan mundur. Aneh sekali, batinku.

“Sebaiknya kau cepat keluar dari sini!” teriaknya lantang yang langsung berlari keluar gedung. Aku yang kebingungan hanya terus menatap punggungnya yang berangsur hilang.

Deg!!

Jantungku berpacu cepat seketika saat aku merasakan sentuhan dingin di pundakku. Tubuhku gemetar. Dan dengan nafas tertahan, aku perlahan membalikkan badanku dan menemukan sosok Kakek yang kutemui semalam.

Ia tersenyum di balik topi usangnya. “Kau sudah melihatnya?”

Aku mengerutkan dahi tak mengerti. Otakku sudah tidak bisa digunakkan untuk berfikir lagi. Aku hanya bisa diam terpaku menunggunya untuk kembali bicara.

“Kali ini aku memaafkanmu. Tapi … kau tidak boleh memancingku lagi. Atau kau akan …,”-ia perlahan mendongkakkan kepalanya. Menampakkan wajah penuh darah dan bekas jatihan di mana-mana. Bola matanya membesar seakan mau keluar. Darah segar mulai keluar dari hidungnya-“bertemu denganku lagi. Dan kepala ini.” Ia mengangkat sebuah kepala gadis tak bertubuh yang entah sejak kapan sudah ada di genggaman tangannya.

          “Kyaa!!”

FIN

2 thoughts on “[VIgnette] An Old Building”

Leave a comment